Pages
▼
Senin, 29 April 2013
MENDIDIK DENGAN HATI NURANI
Pendidikan bukan pembelajaran. Tentang hal ini saya kira memang sudah tidak ada perdebatan. Pembelajaran hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan, sedangkan pendidikan tentu lebih dalam dari hal itu. Di dalam pembelajaran maka yang lebih ditekankan adalah pengisian rasio atau akal, sedangkan di dalam pendidikan selain mengisi rasio agar cerdas, maka juga mengisinya dengan karakter atau budi pekerti atau akhlak yang baik.
Makanya, seorang guru sesungguhnya tidak hanya dituntut untuk mengajar, akan tetapi juga harus mendidik. Itulah sebabnya, motto Kementerian Pendidikan Nasional adalah ungkapan yang pernah dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro, seorang pendidik nasional, seorang guru bangsa, tut wuri handayani. Secara lengkap dinyatakannya: “ing ngarso asung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.”
Ungkapan ini memiliki makna yang sangat dalam bagi seorang guru. Sebab guru itu adalah di depan memberi contoh. Dia harus memiliki kepribadian yang baik sehingga bisa menjadi contoh bagi anak didiknya. Di dalam Al Qur’an dinyatakan: “Laqad kana fi Rasulillahi uswatun Hasanah”, artinya: “sesungguhnya di dalam diri rasul itu adalah contoh dan teladan yang baik”. Maka para alim ulama termasuk guru yang merupakan pewaris para Nabi atau warastat al anbiya’ juga merupakan teladan yang baik.
Guru juga harus menjadi pendorong agar seorang pencari ilmu memiliki kesuksesan. Makanya, ketika berada di tengah-tengah komunitas belajarnya, maka guru harus memberikan dorongan, motivasi dan dukungan sepenuhnya agar mitra belajarnya menjadi sukses. Seorang guru akan selalu bangga jika mitra belajarnya memperoleh prestasi yang membanggakan. Kebanggaan seorang guru adalah ketika anak didiknya menjadi seorang yang sukses. Jadi guru bukan sekedar mentransfer ilmu pengetahuannya, akan tetapi juga menjadi pendorong yang kuat agar ilmunya tersebut bermanfaat.
Kemudian seorang guru juga menjadi pamong. Dia akan menjadi seseorang yang memberi arah ke mana perjalanan harus ditempuh. Dan kemudian menjaganya agar arah itu dapat ditempuh sesuai dengan waktu yang disediakannya. Jangan berlebih. Guru adalah orang yang mengajarkan tentang betapa pentingnya waktu.
Di dalam al Qur’an Allah bahkan bersumpah dengan waktu. Wal ashri inna al insane lafi khusrin illa alladzina amanu wa ‘amilush shalihat…”. Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh”. Guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga menjadikan anak didiknya menjadi orang yang beriman dan beramal saleh.
Di dalam kerangka inilah maka ungkapan Mendiknas, Prof. Dr. Muhammad Nuh bahwa kunci pendidikan di Indonesia adalah guru bisa sangat dipahami. Guru adalah kunci keberhasilan pendidikan di Indonesia. Jika gurunya berkualitas, maka kualitas pendidikan juga akan menjadi sangat memadai dan baik.
Di dalam acara kuliah perdana mahasiswa Program Madrasah Diniyah, 24/12/2010, saya sampaikan bahwa para guru hendaknya menjadi guru yang memiliki visi dan bukan hanya sekedar memenuhi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) saja. Jadi bukan hanya memenuhi berapa jumlah jam mengajar setiap minggu. Akan tetapi sungguh-sungguh harus mendidik para muridnya agar menjadi para pencari ilmu pengetahuan yang berujung pada keimanan dan kesalehan.
Itulah sebabnya dewasa ini Kementerian Pendidikan Nasional sedang getol untuk menemukan konsep ideal dan implementatif tentang pendidikan karakter. Sangat disadari bahwa dengan hanya mencetak manusia yang cerdas dan kompetitif saja, maka akan menghasilkan manusia yang penuh persaingan dalam keadaan konfliktual, akan tetapi dengan menambahkan pendidikan karakter yang mengarah kepada akhlakul karimah, maka akan dihasilkan manusia yang jelas menempatkan hak dan kewajibannya.
Pendidikan karakter tentu bukan hanya pendidikan yang mengedepankan pengetahuan rasional saja, akan tetapi justru pendidikan yang berbasis pada hati nurani. Yang disentuh bukan hanya kepekaan rasio saja, akan tetapi juga kepekaan hati. Maka mendidiknya juga dengan hati dan bukan hanya dengan rasio semata.
Makanya, guru yang mengajarkannya juga seorang guru yang memahami filosofi mendidik, yaitu pendidikan yang berbasis pada pengasahan kepekaan hati nurani. Jika hatinya baik, maka akan baik pula seluruh sistem kehidupannya, dan jika hatinya jahat maka juga akan rusak seluruh sistem kehidupannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
source:http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?cat=3
menurut saya ini benar adanya. karena ketika kita mendidik dengan sepenuh hatinya tentu hasil yang didapat juga baik. tapi jika mendidik setengah hati, hal ini akan memberi dampak bagi anak
BalasHapus