Pages

Jumat, 23 November 2012

Filsafat Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Berbicara tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Untuk memahami teori Piaget , perlu kita mengetahui beberapa istilah baku yang digunakannya untuk menjelaskan proses seseorang mencapai  pengertian
a.       Skema/schemata
Pikiran kita mempunyai struktur yang disebut skema/schemata (jamak). Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasikan dengan lingkungan sekitarnya.  Skemata itu  akan beradaptasi dan berubah  selama perkembangan mental anak.
Skemata  adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas,, kemampuan dan naluri ( Wadsworth dalam Suparno 2008). Skemata merupakan  hasil suatu  konstruksi kognitif manusia yang selalu berubah selama perkembangan manusia tentang  lingkungan sekitarnya  sehingga seseorang dapat beradaptasi dan berkoordinasi dengan lingkungan sekitarnya.
b.      Asimilasi
Asimilasi adalah suatu proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru kedalam skema yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi tidak mengubah schemata melainkan memperkembangkan schemata (Wadsworth dalam Suparno 2008).
Seseorang akan mengalami asimilasi dengan mengaitkan kembali suatu pengalaman baru dengan skema yang sudah ada.
c.       Akomodasi
Seseorang terkadang tidak bisa mengasimilasikan pengalaman baru kedalam skemata yang sudah ada, karena mungkin tidak cocok. Sehingga seseorang tersebut akan mengadakan akomodasi dengan cara, membentuk skema baru yang cocok maupun memodifikasi skema sehingga cocok dengan rangsangan baru.
d.      Equilibriation
Equilibriation merupakan pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Equilibriation membuat seseorang dapat menyatukan  pengalaman luar dengan  struktur dalamnya (skemata).

Menurut Piaget, dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan awal (skemata). Setiap skema berperan sebagai suatu filter dan fasilitator  bagi ide-ide dan pengalaman baru. Skemata mengatur, mengkoordinasi, dan mengintensifkan  prinsip-prinsip dasar. Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Bila pengalaman itu masih bersesuaian dengan skema yang dipunya seseorang, maka skema itu hanya dikembangkan melalui proses asimilasi.  Bila pengalaman baru itu sungguh berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema yang lama tidak cocok lagi untuk menghadapi pengalaman  yang baru, skema yang lama diubah sampai ada kesimbangan lagi. Inilah proses akomodasi.
Contoh:
Seseorang mempunyai gambaran bahwa semua burung dapat terbang dalam perkembang-biakannya. Pada suatu hari  ia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa penguin tidak bisa terbang. Orang ini menjadi bingung dan mengalami ketidakseimbangan  dalam pikirannya. Ia mulai tidak yakin akan gambaran awalnya. Ia mengalami bahwa gambarannya tentang “semua burung bisa  terbang”  tidak jalan lagi berhadapan dengan pengalaman baru ini. Orang ini akhirnya mengubah gambaran awalnya dengan menyatakan “tidak semua burung bisa terbang”. Orang ini sekarang membentuk pengetahuan yang baru. Ia telah mengubah skema lama dan membentuk skema baru yang lebih cocok dengan pengalaman barunya.

                        Belajar merupakan perubahan konsep, didalam proses tersebut, si belajar setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Belajar merupakan proses yang tidak berkesudahan dan terus-menerus.
                        Piaget membedakan antara  dua aspek berpikir yang saling melegkapi: aspek figurative dan aspek operatif. Aspek figuratif merupakan imitasi keadaan sesaat dan statis. Sedangkan aspek operatif berkaitan  dengan transformasi  dari level pemikiran  tertentu ke level yang lain. Setiap level keadaan  dapat dimengerti sehingga akibat dari transformasi  tertentu atau sebagai titik tolak transformasi lain. Aspek operatif lebih esensial dari pemikiran dan sangat berperan dalam pembentukan pengetahuan seseorang.
                        Mengetahui adalah mengasimilasikan realitas dalam sistem-sistem transformasi.  Mengetahui adalah mentransformasikan realitas untuk dapat dimengerti bagaimana suatu keadaan  tertentu itu terbentuk. Mengetahui sesuatu adalah bertindak atas sesuatu itu, membentuk sistem transformasi yang dapat menjelaskan objek.
                        Bagi Piaget, semua pengetahuan  adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang . Pengetahuan ilmiah itu berevolusi, berubah dari waktu ke waktu. Pemikiran ilmiah merupakan proses konstruksi dan reorganisasi yang terus-menerus. Pengetahuan  bukanlah sesuatu yang ada diluar, tetapi ada dalam diri seseorang yang membentuknya. Setiap pengetahuan mengandalkan suatu interaksi dengan pengalaman. Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak tidak dapat mengkonstruksi gambaran korespondensi satu-satu  dalam matematika untuk memahami pengertian bilangan (Piaget dalam Suparno 2008).
B.     Implikasi konstruktivisme dalam pendidikan
Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah:
a.   Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
a.       Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
b.      Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
c.       Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
d.      Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
e.       Guru adalah fasilitator.
Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternative. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.
Meskipun konstruktivisme memiliki definisi yang beragam, pandangan umumnya kebanyakan membantah bahwa pengetahuan menetap hanya dalam diri pembelajar dan bahwa kita tidak dapat mengajar representasi yang akurat mengenai “kebenaran”. Kita hanya dapat menegosiasikan makna-makna bersama (shared meaning) dengan para siswa dan memberikan mereka kesempatan untuk membangun pemahaman yang bermakna saat mereka terlibat dalam aktivitas yang dilakukan dengan sengaja (Jacobsen, 2003a). Meskipun pandangan radikal mengenai kontruktivisme ini begitu diapresiasi oleh para akademisi, pandangan tersebut sering kali gagal menerapkan realitas praktis yang dihadapi guru dalam ruang kelas saat ini. Meskipun banyak bukti mengindikasikan bahwa para pembelajar sesunguhnya membangun pemahaman, tidak semua bentuk pemahaman valid seluruhnya, dan ada sebuah realitas yang bebas dari pemahaman individu (Eggen & Kauchauk, 2007). Jika hal ini tidak benar, para guru akan memiliki peran kecil dalam pendidikan, dan akibatnya, konstruktivisme akan muncul begitu saja. Tentu saja, kondisi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa para guru saat ini makin dibebani oleh tangung jawab untuk menfasilitasi perolehan pengetahuan kognitif konkret yang diukur berdasarkan penilaian yang terstandarisasi dan berpatokan tinggi.
Lingkungan pembelajaran konstruktivis mengutamakan dan menfasilitasi peran aktif siswa. Lingkungan pembelajaran konstruktivis mengubah fokus dari penyebaran informasi oleh guru, yang mendorong peran pasif siswa, menuju otonomi dan refleksi siswa, yang mendorong peran aktif siswa. Strategi - strategi pembelajaran aktif menganjurkan aktivitas - aktivitas pembelajaran yang di dalamnya siswa diberikan otonomi dan control yang luas untuk mengarahkan aktivitas-aktivtas pembelajaran. Aktivitas-aktivitas pembelajaran aktif meliputi pemecahan masalah, bekerja dalam bentuk kelompok kecil, pembelajaran kolaboratif, kerja investigative, dan pembelajaran eksperiential. Sebaliknya, aktivitas-aktivitas pembelajaran pasif, yang di dalamnya siswa hanya menjadi penerima informasi, melibatkan peran siswa hanya dalam aktivitas mendengarkan (listening) apa yang dikatakan oleh guru dan tak jarang mereka diberi pertanyaan-pertanyaan yang kurang berkualitas.
Pergeseran paradigma pembelajaran konstruktivis ini didasarkan pada gagasan bahwa secara alamiah para pembelajar sebenarnya sudah memiliki sikap aktif dan rasa ingin tahu, yang kedua sifat ini kemudian menjadikan metode ceramah (lecture) dan buku ajar (textbook) bukan sebagai penekanan utama dalam pembelajaran kelas. Pergeseran semacam ini bukan berarti bahwa guru tidak perlu menjelaskan materi pelajaran pada siswa; sebaliknya, ia justru menyiratkan bahwa kita -sebagai guru- seharusnya curiga mengenai seberapa banyak pemahaman yang telah dikembangkan oleh para pembelajar dari penjelasan-penjelasan yang telah kita berikan dan sejauh mana rekaman atau catatan mereka tentang  pengetahuan tersebut. Meyakini bahwa para pembelajar membangun daripada sekedar mencatat/merekam pemahaman memiliki implikasi yang penting pada cara-cara kita m engajar. Selain beberapa peringatan yang telah terinci sebelumnya, sebagai para pendidik, kita seharusnya melakukan hal-hal berikut ini (Eggan & Kauchak, 2007) Menyediakan beragam contoh dan representasi materi pelajaran pada para pembelajar. Mendorong tingkat interaksi yang tinggi dalam pembelajaran kita. Menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata.
Meskipun tidak ada satu pun teori konstruktivis yang memerinci berikut ini, banyak pendekatan konstruktivias yang merekomendasikan pada kita (Ormrod, 2000):
·      Lingkungan-lingkungan pembelajaran yang menantang dan rumit, dan tugas-tugas yang autentik.
·      Negosiasi sosial dan tangungjawab bersama (shared responsibility) sebagai bagian dari pembelajaran.
·      Representasi-representasi materi pelajaran berganda.
·      Pemahaman bahwa pengetahuan dapat dibangun.
·      Pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Selain konstruktivisme, pembelajaran yang berpusat pada siswa memiliki fokus atau perhatian yang juga beragam. Pertama, saat siswa membangun pemahaman mereka mengenai suatu materi pelajaran, mereka mengembangkan perasaan personal bahwa pengetahuan adalah milik mereka. Kedua, pemusatan siswa menekankan adanya penelitian dan pembelajaran berbasis masalah dan kerja kelompok. Aktivitas-aktivitas pemecahan masalah dalam ruang kelas semacam ini, beserta dengan komponen-komponen teori konstruktivis lain yang berpusat pada siswa, dibangun berdasarkan filsafat John Dewey (1906, 1938), seorang filsuf dari Amerika yang paling berpengaruh. Sebelumnya Dewey, pendidikan di Amerika Serikat masih bertujuan untuk menfasilitasi perolehan pengetahuan siswa. Namun, seiring dengan munculnya teori-teori Dewey dan metode reflektif, para pendidik kemudian sangat tertarik pada kemampuan siswa dalam berpikir mengenai informasi dan melibatkan diri mereka dalam pemecahan masalah yang nyata. Para guru yang menerapkan teori-teori Dewey lebih menekankan kurikulum yang berpusat pada siswa dan berorientasi pada aktivitas (a student-centered, activity-oriented curriculum) di setiap pembelajaran kelas mereka (Jacobsen, 2002b). Dewey lebih jauh percaya bahwa aktivitas-aktivitas seperti ini seharusnya berguna dan bernilai praktis, bahwa aktivitas-aktivitas pembelajaran yang efektif bagi siswa pada akhirnya dapat melibatkan mereka untuk belajar dengan tindakan (learning by doing), dan bahwa pembelajaran seharusnya menjadi pengalaman seumur hidup yang berkelanjutan dimana “otak/pikiran yang aktif dapat berorientasi dengan dunia terbika yang luasuntuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terus menerus muncul bersama dengan pengalaman sebelumnya meski dalam bentuk yang berbeda.” (Reed & Johnson, 2000: 91).
Teori-teori konstruktivis mengenai pembelajaran juga dipengaruhi oleh teori-teori pengembangannya Piaget (1952, 1959) dan teori-teori pembelajaran sosialnya Vygotsky. Kajian Piaget fokus pada pengalaman-pengalaman individu langsung yang menggerakkan pembelajaran secara berurutan pada periode waktu tertentu untuk membangun pengetahuan perseptual, konkret dan pada akhirnya abstrak.
Kajian Vygotsky menekankan pentingnya interaksi socsal saat siswa berpartisipasi dalam tugas tugas pembelajaran. Para pembelajar meningkatkan pemikiran mereka sendiri dengan bersikap terbuka pada pandangan-pandangan dan wawasan-wawasan orang lain. Salah satu strategi pembelajaran kerja kelompok yang paling umum diimplementasikan adalah pembelajaran kooperatif  yang di dalamnya guru berperan mendorong pembelajar dengan menekankan pada kerja team/kelompok  sebagai lawan dari pendekatan kompetitif dalam pembelajaran. Dengan peran ini, guru dapat menfasilitasi usaha siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan.Namun, kata yang penting untuk diperhatikan pada kalimat sebelumnya adalah kata dapat. Secara khusus, pandangan bahwa interaksi sosial menfasilitasi konstruksi pemahaman merupakan prinsip yang menggaris bawahi teori pembelajaran konstruktivis. Hal ini terkadang dimaksudkan pada tujuan bahwa seorang guru yang menerapkan pembelajaran kooperatif adalah seorang “konstruktivis,” padahal seseorang yang mengandalakan aktivitas-aktivitas pembelajaran berkelompok besar bukanlah seorang konstruktivis. Sebenarnya, ada guru yang mungkin mendasarkan pembelajaran mereka pada pandangan-pandangan konstruktivis, namun ada pula yang tidak. Pembelajaran berkelompok besar, yang dilakukan secara efektif, dapat mendorong konstruksi pemahaman, sementara pembelajaran kooperatif, yang dijalankan dengan kurang maksimal, tidak dapat mendorong konstruksi pemahaman (Eggen & Jacobsen, 2001). Oleh karena itu, yang perlu digarisbawahi bukanlah bagaimana para guru mengajar, tetapi lebih pada apa dan bagaimana para siswa belajar.
Efektivitas suatu strategi pembelajaran dapat kita capai tidak dalam hal bagaimana strategi tersebut diimplementasikan, tetapi dalam hal apakah strategi dapat mendorong perolehan dan pemahaman personal siswa akan pengetahuan. Hal ini menyiratkan bahwa selama proses-proses perencanaan, para guru seharusnya tidak hanya mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tradisional mengenai pembelajaran, bagaimana mengatur dan menerapkan aktivitas aktivitas pembelajaran, bagaimana memotivasi siswa, dan bagaimana mengevaluasi pembelajaran, tetapi juga menganalisis semua hal tersebut dalam bentuk-bentuk pembelajaran siswa (Eggen & Kauchak, 2007).

Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar. Pidato Pengukuhan
Guru Besar IKIP Malang. Malang: IKIP Malang.

Gasong, Dina. Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternative Mengatasi Masalah Pembelajaran. dari http://www.images.dani7bd.multiply.com.

Hamzah, 2008. Teori Belajar Konstruktivisme.. Dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Hidayat, Ayatollah. 2009. Kogntif Learning Theory. dari
http://www.ayatollahhidayat.blogspot.com.

Pranata, Y. Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru Pembelajaran Desain. Dari http://www.puslit.petra.ac.id.

Wicaksono, Rohadi. 2007. Mengapa Harus Konstruktivistik.. dari http://www.rohadieducation.wordpress.com.

Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Dewey, J. (1938). Experience and Education. New York: Macmillan.
Eggen, P., & Jacobsen, D. (2001). Constructivism and the Architecture of Cognition: Implications for Instruction. Seattle, WA:  American Education Research Association.
Eggen, P, & Kauchak, D. (2007). Educational Psychology: Windows and Classrooms (7th Ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.
Jacobsen, D. (2003). Historical Foundations of Cognitive and Social Constructivism: A Philosophical Perspective. Chicago: Midwest History of Education Society.







1 komentar:

  1. makasih yah untuk artikelnya semoga dapat bermanfaat bagi makalah saya

    BalasHapus